Senin, 11 November 2013

Kemiskinan






Meratap di sudut kota
diam membisu seorang diri
dinding-dinding pertokoan
adalah karib yang setia menemaninya
sampai ke alam mimpi

Ia meratap
mukanya tengadah
matanya basah
melihat hidup yang semakin redup
dalam genggaman tangannya
ia rindu pada fajar esok hari ?

Kapan ?







Kapan lagi kita menuju awan
berdiri dan menantang matahari
memandang ke bawah
bunga-bunga mandi ..... telanjang

Kapan lagi, kita bangun rumah sekejap
dalam hutan kita tidur
bersama dingin dan kegelapan
hujan turun kitapun kuyup

kapan lagi, bercengkrama dengan laut
menendang-nendang pasir sisa malam
menyeruak kebisoingan kota
di atas jembatan, kita ganggu semut-semut

kapan lagi, kita menuju gerbong kereta
di mana pohon-pohon mengucap :
" Selamat Pagi !"
pada perut kita yang kelaparan


SURAT TERAKHIRMU





Pagi yang memberi kesejukan telah merubah malam yang pekat gelap tanpa rembulan dan gemintang bergantian sinar kemerahan mentari pagi yang menghangatkan langkah-langkah kehidupan waktu. Bumi pertiwi menjulang tinggi kukuh senandungkan nyanyian selamat datang penimba ilmu pengetahuan di Kampus Biru, walaupun diantaranya ada yang sekilas dan abadi bergelut dengan bagian kuliah.

"Begitulah salah kita juga, yang santai dan lamban". Seru Gerhana kepada temannya sejalan, seduka, semanis ketika sedang dalam kantin untuk sarapan pagi.

"Benar kau Na ! jika seandainya kita dari kemarin giatnya seperti sekarang, aku yakin kita takkan ketinggalan oleh teman-teman yang telah jadi Sarjana." jawab Pram yang menjadi sobat dalit Gerhana.

"Dan yang penting kitapun harus selesai juga dengan memanfaatkan kesempatan yang ada pada diri kita, seru Gerhana kemudian meneruskan Pram dan .......

"Hai Na !"

"Hai....!" balas Gerhana

"Kau Mel, tidak kuliah ?"

"Kebetulan hari ini tidak ada, cuma ingin menemui dosen untuk mengambil nilai dan ada perlu dengan kau, Gerhana." kata Melody sambil duduk semeja dengan Pram dan Gerhana.

"Perlu denganku," sela Gerhana penuh tanya.

"Ini biasa tentang si diamu itu titip sesuatu untukmu."

"Oh dari Kirana, di mana dia sekarang ?"

"Sedang ke Jogya menjenguk neneknya yang sedang sakit."

"Sendiri ?"

"Ngga....rombongan dengan keluarga."

"Koq engga bilang ?!" ujar Gerhana seperti merasa kehilangan. "Bilang cuma melalui surat saja," jawab Melody sambil mengeluarkan sampul surat berwarna biru dari dalam tasnya, sementara Gerhana mencoba untuk meraihnya.

"Tunggu !" , Melody memasukan kembali surat itu.

"Traktir dulu donk, sebelum surat ini sampai ditanganmu."

"Oke,...dengan senang hati, pilih saja apa maumu yang ada di kantin ini."Inipun salah satu pengorbanan untuk sang kekasih."

Tiba-tiba Pram nyeletuk yang dari tadi bengong saja.

"Mari kita gratis makan bersama Mel, demi sang kekasih Romeo kita." Pram memperolok Gerhana yang sudah ingin sekali tahu dari kekasih tambatan hatinya.

Senja telah rebah dikala mentari memasuki peraduannya diiringi gitar kecapi yang ditembangkan oleh seseorang, tanpa seorang pemuda menghampirinya dan minta sebuah lagu dari Michael Jackson, One Day In Your Life. Terdengarlah alunan nada kecapi itu dengan apik bersama sebuah harmonika yang menyayup menyentuh perasaan pemuda itu, mengingatkan sebuah kenangan manis dalam wanginya bunga. Karina, akan kutaklukan badai ini, guman pemuda itu yang rupanya Gerhana kepada Kirana akan ku dendangkan juga ilusi-ilusi indah yang tak pernah mati, karena kau adalah penghias abadi dinding jiwaku sebagai bait-bait sukma yang kunyanyikan sebagai tembang-tembang malam.

Sementara itu petikan kecapi masih berdenting menerawang jauh ke angkasa relung hati Gerhana, yang tiba-tiba saja udara mendung bernaung di dalamnya. Gerhana berlalu dari situ setelah usai lagu permintaannya dengan menyelinapkan dua buah uang logam ketangan si pemetik kecapi itu. Gerhana terus berjalan menelusuri jalan, dimana hari kemarin sepanjang jalan itu penuh bunga kala Kirana berjalan disisinya menggamit manja lengan Gerhana untuk mendengarkan kecapu dn tiupan harmonika.

Semiggu sudah, Gerhana selalu murung tiada nyala gairah bertahta didirinya semenjak kepergian Kirana ke Jogyakarta, semenjak surat terakhir itu datang, selalu saja surat itu digenggamnya hingga lusuh, selalu dibacanya berulang-ulang seolah tidak percaya pada kenyataan yang diterima itu. Ingin kerinduannya dibunuh, tapi tak jua mampu menghilangkannya, yang ada semakin menebal dan ,mndarah daging perasaan kerinduan itu, perasaan kehilangan sebuah ratna harapan yang selalu terukir menghiasi pada relung sukma Pram pada gambar kenangan yang tak pernah pudar. Kini Pram selalu mengurung diri, mwnghindar dari gerak kehidupan di luar kamarnya, mengela dari segala pepatah dan fatwa dari kerabat sejawat maupun dari dalam dirinya yang pernah terucapkan untuk menenangkan suasana bathin seseorang atau Kirana yang dahaga kasih.

Siang itu Gerhana dan Pram di sebuah bukit indah nan damai

"Sudahlah Gerhana !, jangan selalu kau cemaskan Kirana, Pram selalu mencoba untuk yang keberapa kalinya memberikan jalan keluar dari kemelut yang menghimpit Gerhana.

"Tidak Pram, terima kasih atas segala perhatianmu, aku tidak bisa melupakannya". Gerhana menata kosong bukit hijau.

"Kamu seperti bukan lelaki saja, bebaskanlah semuanya itu," kata Pram menatap dalam-dalam wajah Gerhana yang tidak segar seperti kemarin, ketika bersama Kirana.

"Aku tahu Pram, bahwa aku lelaki, tetapi sepertinya aku kehilangan diriku sendiri di samping kehilangan Kirana."

"Yah....akupun memaklumi Na, namun menurutku tidak seharusnya kau bermuram durja terus, tunjukkanlah Gerhana yang dahulu, yang tenang bila menghadapi sesuatu peristiwa pahit.

"Terserahlah kau mau menganggap apa terhadapku, dan tinggalkan aku sendiri di sini ....., aku sudah mual dengan segala nasehat."

"Na....!! Selayaklah aku sebagai sahabat mengingatkanmu, aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadimu." kata Pram dengan suara agak keras.....

"Pram......kataku tinggalkan aku disini, berikan aku kesempatan menenangkan pikiranku di bukit ini."

"Justru aku tidak mau kau selalu dicekam oleh kesendirian, karena dalam kesendirian kenang-kenangan manis akan datang dibenakmu....dan akan menggeroti perasaan yang akan menambah sakit saja di hatimu."

"Seperti kata orang arif, bahwa kegagalan awal dari keberhasilan. Percayalah ..., aku yakin suatu ketika datang yang sepenuhnya menyayangi kau ..."

"Untuk sementara....biarlah aku sendiri dulu menikmati kejadian yang kualami ini"

"Telah sore Na, dan sebentar lagi hujan akan turun, mari kita pulang."

Akhirnya Gerhana mengikuti ajakan Pram, sahabatnya yang dengan sabar dan besar perhatiannya kepada Gerhana. Betapa kau Pram, selalu menghargai nilai persahabatan kita ini. Guman Gerhana dalam hati memuji kesetiaan sahabatnya. Kalau saja itu milik Kirana tidak mungkin begini aku jadinya, berbicara dengan hatinya sendiri berbucara pada selembar kenyataan, pada soneta cintanya kepada Kirana yang tak pernah pupus dan segenggam hatinya yang dipersembahkan Gerhana waktu dulu dan saat ini telah direnggut Kirana untuk kemudian dicampakkannya pada karang-karang yang tajam, sepuntung cinta Gerhana yang malang, tak ada yang diharapkan lagi.

Gairah hidup telah terengguk oleh sang kekasih, satu tertinggal yang paling pahit, lembutnya getar bibir pujaan hatinya di saat mengucapkan sesuatu yang manis.



"Kau buat aku dengan teka-teki dan kau sengat hatiku dengan belati kepedihan, bolehkah kukatakan kejam Kirana dewiku...., namun begitu ku coba juga bertahan dan berpeluk pada secuol harapan yang masih tersimpan, meski diriku telah terlempar jauh."Gerhana selalu berbicara pada dirinya sendiri, berguman, bertempur dengan perasaan-perasaannya bernyanyi sendu yang terpantul pada wajah yang kuyu, selalu terngiang bait-bait surat terakhir dari Melody, telah hapal diluar kepala segala kata-katanya itu, selalu menghantuinya.



Gerhana sayang,

Pagi ini aku ke Jogya jenguk nenek yang sakit dengan keluargaku, maafkan aku tidak bisa menemuimu dahulu.

Gerhana, maafkanlah aku mengecewakanmu, tapi yang lebih mengecewakan adalah sebelum aku berangkat, malamnya aku dipanggil ayah dan diperkenalkan dengan seorang pemuda dari Jogyakarta yang memberi tahu bahwa nenek sakit.

Gerhana, kiranya ayah telah merencanakan dari dulu, untuk menjadikan pemuda itu sebagai teman hidupku kelak, rupanya pemuda itu telah menanamkan jasa besar kepada ayah dan tanpa sepengetahuanku pemuda itu mengharapkan kehadiranku, dengan menggunakan Ayah sebagai alat untuk menyatakan cintanya.

Gerhana, aku tak dapan lari dari kenyataan, bahwa aku tetap mencintaimu dan memilih kau sebagai calon pendampingku kelak, tetapi ayah tetap mendesakku, memaksaku walau aku tetap pada pendirian tidak mau kepada pemuda itu.

Gerhana, dengan terpaksa aku ikut juga ke Jogyakarta mengukuti kehendak ayah. Aku akan diperkenalkan kepada keluarga pemuda itu sekaligus untuk tukar cincin di sana.

Gerhana, maafkan aku dan lupakan aku, biarlah badai yang datang itu kunikmati sendiri. Carilah pengganti diriku, karena aku percaya masih banyak wanita yang masih mengharapkan kehadiran dirimu.

Gerhana sayang...............

Tak terasa motor yang membawa Gerhana dan Pram telah sampai di pondok kontrakan, merka basah kuyup karena terguyur hujan seperti basah dan dinginnya hati Gerhana tergenang suatu yang pedih.

Dan di teras rumah kontrakan itu telah menunggu seorang wanita yang bernama Kirana, sementara Gerhana terpaku ketika akan memasuki rumah itu.

"Gerhana !" seru Kirana lirih. Maafkan aku," maafkanlah aku dan mengenai surat itu aku sengaja membuatnya, dan......."

"Kau masih ingat aku, dan menyempatkan diri untuk datang ke sini, terima kasih ku ucapkan dan selamat jalan." jawab Gerhana sambli membuka sepatu dan jaket yang basah.

"Gerhana....sekali lagi maafkan aku, tanyakan Pram tentang diriku ini." kata Kirana yang membuat sejuta tanya dalam benak Gerhana, ada apa gerangan dengan semua ini.

"Na...,sebenarnya surat itu hanya permainan saja." seru Pram sambil tertawa dan maksud Kirana membuat surat itu adalah sekedar batu ujian dalam rangka mengukur kadar cibta dan kesetiaan dirimu terhadap Kirana."

Sementara Gerhana menundukkan kepalanya, rasa kesal dan rasa bahagia bercampur aduk jadi satu yang menyababkan jadi grogi.

"Betul Gerhana, pemuda itu tak pernah ada, dan aku ke Jopgyakarta hanya semalam saja kemudian sengaja aku tidak menemuimu. Dan mengenai keluargaku telah ada di tanganku." Kirana menegaskan kembali pernyataan dari Pram sambil tersenyum dan menghampiri Gerhana yang kemudian mengecup lembut kening Gerhana seiring menyibaknya kabut dihati Gerhana.

"Kau buat aku seperti orang gila dengan ulahmu yang unik itu."

"Gerhana aku berbuat demikian karena aku menginginkan seorang kekasih calon suamiku benar-benar orang yang mencintaiku, orang yang menyayangiku, aku tidak mau kehilangan seseorang yang kucintai, dan kau adalah yang menyayangiku dengan sepenuh hati itu." kata Kirana duduk di samping Gerhana dengan kepala dan rambutnya yang terurai dibenamkan di dada Gerhana, Gerhana membelainya dan menekan wajah Kirana ke dadanya, seperti ingin dimasukkan ke dalam jiwanya agar tetap tersimpan di dalam hatinya.




Kisah ini hanyalah fiktif belaka, kalaupun ada kesamaan dengan tempat dan nama itu hanya kebetulan belaka..