Rabu, 16 Maret 2011

IKHLAS

“ Padahal mereka tidak di suruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ke-tha’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, yang demikian itulah agama yang lurus “(Qs. Al-Bayyinah, 5)

Menurut bahasa “ikhlas” berarti suci atau murni sedang menurut pengertiannya, seperti di rumus kan oleh Abu Qasim al-Qusyairi dalam “Risalah”nya adalah menunggalkan tujuan hanya kepada Allah dalam ke tha’atan atau dalam mendekatan diri kepada-Nya, atau membersihkan amal perbuatan manusia.
Dengan demikian pilihan “iklas” itu hanya satu.Yakni keridhoan Allah. Tidak ada yang melatar belakangi dari amal perbuatannya kecuali karena Allah. Dan tidak ada yang diharapkan, kecuali amalnya bersih dari segala macam noda. Sedang noda yang bisa mengotori keiklasan adalah riya (ingin agar  amalnya dilihat orang, ingin di sanjung dll) atau ingin harta, tahta, karir dan kesenangan lain yang bersifat duniawiyah.
Pilihan maupun harapan dari orang-orang yang menginginkan adanya ke ikhlasan dalam beramal, sejatinya dapat terwujud dengan baik, jika ada dua unsur fundamental yang melandasinya. Pertama adanya niat, yang sungguh-sungguh karena Allah dalam berbuat, bekerja, atau beramal dan kedua amal yang dilakukannya itu benar-benar murni karena Allah.

Niat Karna Allah
Nilai merupakan amal atau merupakan pekerjaan dari hati. Hatinya berkata denga penuh kesungguhan mau melakukan amal karena Allah, bukan karena lainnya. Untuk itu ia lalu memohon kepada Allah agar dilindungi dari macam godaan dan rayuan yang dapat mengotori niatnya. Mengapa ? karena niat mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukanserta akan mewarnai semua akibat dari amal yang di lakukannya. Jika niat nya benar-benar Karena allahdan Rosul nya,maka niscaya allah akan membalas nyadengan sempurna.Tapi jika niatnya lantaran harta,wanita,dll maka iapun akan mendapatkan yang diniatkannya itu, namun tidak mendapatkan nilai dari Allah Rasulullah bersabda:

“ Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung kepada niatnya. Dan setiap orang hanya memperoleh menurut pahala yang diniatkan. Barang siapa hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan  barangsiapa hijrahnya kepada dunia yang ingin didapatkannya, atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang ditujunya ” (HR Bukhari dan Muslim, dari Umar Ibnul Khattab r.a) 

Di dalam Al-Qur’an,  niat mengerjakan sesuatu perbuatan karena Allah dinyatakan dengan berbagai ungkapan. Ada kalanya diungkapan dengan “Menghendaki kehidupan akhirat” sebagaimana disebutkan dalam QS,Ali Imran ayat 145 dan 152, serta Al-isra ayat 19. Tapi ada kalanya diungkapkan dengan “Menghendaki keridhaan Allah” sebagaimana disebutkan dalam QS Ar-Rum ayat 39. Al-Lail 20. Al-Baqarah 265, dan An-Nisa 114.

Jika niatnya dalam  melakukan suatu perbuatan benar-benar mengharapkan “kehidupan akhirat” atau “keridhoan Allah” maka Allah meluluskannya dengan mendapatkan pembalasan yang sebik-baiknya (QS Al-Isra19), yakni dilipatgandakan pahalanya (QS Ar-Rum 39), serta mendapatkan kenikmatan yang sepuas-puasnya (QS Al-Lail 21). Tapi sebaliknya, orang-orang yang mengharapkan dalam perbuatan atau pekerjaannya itu hanya untuk mendapatkan kehidupan duniawiyah semata, tanpa mengharapkan kehidupan yang baik di akhirat, juga akan diluluskan oleh Allah (QS Hud 15-16).

Dari itulah maka menyertakan niat dalam setiap melakukan suatu perbuatan merupakan suatu keniscayaan, kemestian. Bahkan dalam Hadits Qudsi yang bersumber dari Abu Hurairah, Nabi SAW pernah bersabda :
Allah azza wa Jalla berfirman:
“Jika hamba-Ku hendak mengerjakan suatu keburukan, maka janganlah kalian (para malaikat) menulisnya sebagai dosa hingga dia mengerjakannya. Jika sudah mengerjakannya, maka tulislah suatu dosa yang sama dengannya dan jika dia meninggalkannya karena Aku, maka tulislah suatu kebaikan baginya. Dan jika dia hendak mengerjakan suatu kebaikan namun belum mengerjakannya, maka tulislah suatu kebaikannya baginya. Jika dia sudah mengerjakannya, maka tulislah baginya sepuluh (pahala) kebaikan yang serupa dengannya hingga tujuh ratus kebaikan” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, seseorang  tidak cukup hanya mengerjakan suatu perbuatan atau amal seperti mesin yang berjalan secara otomatis, tanpa menyertakan niat  yang akan mewarnai dan mengarahkan amalnya.
Membersihkan jiwa dari hawa nafsu, membersihkan dari berbagai noda, memang tidak mudah. Bahkan para ahli ibadah merasakan betapa sukarnya memurnikan niat agar benar-benar suci karena Allah. Mengapa? Karena ia harus mampu menutup segala pintu masuk ke dalam jiwanya bagi syaitan tidak masuk ke dalam jiwanya, bukan pekerjaan yang mudah pula. Diperlukan perjuangan yang sangat berat namun sangat mulia hasilnya.

Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya ada orang-orang secara lahiriyah terlihat berbuat amal ahli sorga, padahal ia ahli neraka. Dan ada seseorang yang secara lahiriyah ia berbuat amal ahli neraka, padahal ia ahli sorga”(HR Bukhari dan Muslim dari Sahal bin as-Sa’idi).

Pada akhirnya, niat yang sungguh-sungguh karena Allah, memang, hanya dapat terwujud jika kita memiliki aqidah yang kuat, tauhid yang sempurna. Tanpa itu sulit bisa terwujud.

Berbuat karena Allah

Niat dan ikhlas itu diperlukan bila kita berbuat sesuatu (beramal). Jika landasan keduanya tidak ada, maka pekerjaan atau amal seseorang akan menjadi sia-sia. Di hadapan Allah, amalnya itu akan hilang tanpa bekas.  

Di dalam Al-Quran, Allah berfirman: 
“Dan kami hadapi segala yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” (QS Al-Furqan, 23).

Dari itulah Allah kemudian tidak melihat amal seseorang dari bentuk maupun rupanya tetapi yang  paling utama adalah dari hatinya, dari niat dan keikhlasannya.

Rasulullah SAW bersabda: 
“ Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad dari rupa kalian, tetapi dia melihat kepada hati kalian”. Beliau kemudian member isyarat  ke  arah hati dengan jari-jari tangannya dan bersabda: “Taqwa terletak disini “ sambil beliau memberi isyarat ke arah dadanya tiga kali. (HR Muslim dari Abu Hurairah r.a)

Di dalam dada seseorang ada hati. Dan di dalam hati ada pekerjaan atau amal, yaitu berupa niat dan ikhlas. Dengan demikian,  amal dzahir seseorang baru bisa bernilai jika ada kedua amal hati tadi. Dan dua amal hati itulah (niat dan ikhlas) yang akan menentukan ketaqwaan seseorang. Jika kedua amal dari hati itu ada, insya Allah, Allah juga akan membimbing sehingga pekerjaan atau amal yang dilakukan bisa benar-benar sesuai dengan perintah dan larangan-larangan Nya. 
Oleh karena itu ketika Allah memerintahkan berqurban, misalnya, Allah menegaskan bahwa daging dan darah ternak qurban itu tidak akan sampai kepada-Nya, namun justru ketaqwaan orang yang berqurban itulah yang akan sampai kepada-Nya (QS Al-Hajj, 37). Hal ini lantaran orang yang taqwa itu selalu mendapat petunjuk dari Allah sehingga dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah. Serta mendapat perlindungan dari Allah, sehingga terhindar dari tipu daya orang-orang yang membencinya. 

Ciri-ciri Ikhlas
Seorang ulama muta’akhirin,Dr Yusuf Qardhawi dalam kitabnya “Fith-thariq Ilallah, an-Niyyah wal Ikhlas” menyebutkan cirri-ciri orang yang ikhlas dalam beramal itu antara lain, sbb: 
  1. Takut dikenal dan apalagi terkenal 
  2.  Menuduh dirinya orang yang berlebihan di sisi Allah dan kurang sekali dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya 
  3.  Lebih menyukai amal yang dilakukan secara diam-diam 
  4. Tidak menuntut pujian, tetapi jika mendapat tidak terkecoh oleh pujian 
  5. Tidak kikir dalam member pujian kepada orang yang layak mendapatkannya 
  6. Jika memimpin, berbuat wajar, dan ketika berada dibelakang berlaku satria 
  7. Selalu mencari keridhoan Allah bukan keridhoan manusia 
  8. Cinta dan benci, gembira dan marah semata-mata karena Allah 
  9. Sabar dalam setiap keadaan dan jauh dari sifat putus asa
  10.  Merasa senang jika ada yang bergabung dalam berbuat kebajikan
  11. Rakus terhadap amal yang bermanfaat
  12.  Menghindari ujub, yaitu merasa puas terhadap amal yang dilakukannya
  13.  Selalu berusaha membersihkan jiwa (hati,pikiran,dan perasaannya)dan raganya.

ALLAHU A’LAM BISH-SHOWAB

Sumber : Buletin Dakwah , H. Badruzzaman busyairi

Semoga bermanfaat untuk semua

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Tidak ada komentar: