Selasa, 15 Maret 2011

UNTUK SEBUAH NAMA (sahabatku rani suciati haerani)

Sahabatku,
Di bukit kenangan ini kita berbincang kehidupan tentang hidup, tentang kau yang mengasuh anak bangsa, yang cerdas membahas dunia. Tanganmu begitu lembut mengelus rambut anak-anak tanpa ucap beribu, kau mengajaknya menimba di sumur pengetahuan, dimana airnya suci menyusup ubun-ubun bunga mungil. Meloncati pagar dunia, begitu ucap mata berbinar ketika si kancil cerdik melompati tepian ketebelakangan.
Sungguh betapa air mata itu melambai saat perpisahan tiba, anak asuhmu menyiramkan air mata suci, memberikan kado hatinya
"Terima kasih Ibu", kata mungilnya menderas air mata do'a kalbumu luluh waktu merangkul kasih terakhir.
"Jadilah penerus bangsamu, anakku!" ucapmu tersedu bungah.
Begitu dan begitu ceritamu berulang tiap anak asuhmu rengse menimba di sumur ilmumu, tak pernah kering, tak jenuh mengasuh.
Sahabatku,
Ketika kitab jodoh membuka suratanmu, di situ tertuliskan. Kau temukan pendamping dunia dan akhiratmu bersama berlayar mengarungi lautan, hantaman badai topan bersama saling riksa kapal, agar tak oleng, bahkan tenggelam di tengah ombak mengamuk. Kau berdua saling merangkul jiwa, hingga di kota pelabuhan terakhir nafasmu berdua masih satu.
Memang ...dunia ini aneh. Kau dan aku satu waktu kemunculan, tapi suratan warnamu berbeda, kau berjalan mengasuh anak-anak seprti ibumu waktu kamu kecil dalam gendongannya.
Ingatkah saat kau nangis, karena lapar, ingin kehangatan pelukannya. Bundamu tak pernah terpejamkan mata, karena sayangnya, betapa lembut tangan bundamu ketika putri tercintanya sakit. Dia lupa makan, lupa minum, karena ia sayang kamu.
Hari itu kau bisa menikmati kerisauan bundamu, karena rasa risau bundamu kau bagikan pada anak-anak, mengharap kau jadi orang berguna..
Hari itu cerita bundamu kembali kepangkuanmu, sahabatku, lagu nina bobo buundamu kau nyanyikan, tentunya anak mungil tanda kasih kau dan suami tercinta
Cerita kanakmu, mungkin dibaca lagi oleh anakmu, Mengulang cerita ibunya masih remaja, masih kanak nakalnya sang anak adalah poto copi mamanya, diamnya anak, mungkin salinan dari aslinya atau lembut seperti ibunya. Kau makin mengaca pada cermin usia, betapa anganku esok anakku jadi Abu Bakar, seperti Umar, seperti Ali atau.... taka muluk-muluk, biasa saja, ANAK SHOLEH, berguna buat negaranya, persis seperti ibunya ketika bundamu menharapkan kamu begitu, seperti ucapmu ketika mengelus rambut buah hatimu, seperti bundamu dulu sayangnya padamu, do'a bunda menjadi hari itu. Kau mengasuh anak bangsa tiap hari tak henti ilmumu, mengalir ke tiap benak bunga mungil di taman nusantara. di taman siswa Tut Wuri Handayani, seragam gurumu melekat.
Sahabatku,
Kita berbincang di rentang geriapnya kehidupan ditengah usia yang merayap pelan. Kau dan aku berangkulan di batasa usia kelahiran kembar di permukaan bumi bersama, kita menghirup udara berdua senafas!

Sahabatku,
Di bukit kenangan ini kita berbincang kehidupan tentang hidup, tentang kau yang mengasuh anak bangsa, yang cerdas membahas dunia. Tanganmu begitu lembut mengelus rambut anak-anak tanpa ucap beribu, kau mengajaknya menimba di sumur pengetahuan, dimana airnya suci menyusup ubun-ubun bunga mungil. Meloncati pagar dunia, begitu ucap mata berbinar ketika si kancil cerdik melompati tepian ketebelakangan.
Sungguh betapa air mata itu melambai saat perpisahan tiba, anak asuhmu menyiramkan air mata suci, memberikan kado hatinya
"Terima kasih Ibu", kata mungilnya menderas air mata do'a kalbumu luluh waktu merangkul kasih terakhir.
"Jadilah penerus bangsamu, anakku!" ucapmu tersedu bungah.
Begitu dan begitu ceritamu berulang tiap anak asuhmu rengse menimba di sumur ilmumu, tak pernah kering, tak jenuh mengasuh.
Sahabatku,
Ketika kitab jodoh membuka suratanmu, di situ tertuliskan. Kau temukan pendamping dunia dan akhiratmu bersama berlayar mengarungi lautan, hantaman badai topan bersama saling riksa kapal, agar tak oleng, bahkan tenggelam di tengah ombak mengamuk. Kau berdua saling merangkul jiwa, hingga di kota pelabuhan terakhir nafasmu berdua masih satu.
Memang ...dunia ini aneh. Kau dan aku satu waktu kemunculan, tapi suratan warnamu berbeda, kau berjalan mengasuh anak-anak seprti ibumu waktu kamu kecil dalam gendongannya.
Ingatkah saat kau nangis, karena lapar, ingin kehangatan pelukannya. Bundamu tak pernah terpejamkan mata, karena sayangnya, betapa lembut tangan bundamu ketika putri tercintanya sakit. Dia lupa makan, lupa minum, karena ia sayang kamu.
Hari itu kau bisa menikmati kerisauan bundamu, karena rasa risau bundamu kau bagikan pada anak-anak, mengharap kau jadi orang berguna..
Hari itu cerita bundamu kembali kepangkuanmu, sahabatku, lagu nina bobo buundamu kau nyanyikan, tentunya anak mungil tanda kasih kau dan suami tercinta
Cerita kanakmu, mungkin dibaca lagi oleh anakmu,
Mengulang cerita ibunya masih remaja, masih kanak nakalnya sang anak adalah poto copi mamanya, diamnya anak, mungkin salinan dari aslinya atau lembut seperti ibunya.
Kau makin mengaca pada cermin usia, betapa anganku esok anakku jadi Abu Bakar, seperti Umar, seperti Ali atau.... taka muluk-muluk, biasa saja, ANAK SHOLEH, berguna buat negaranya, persis seperti ibunya ketika bundamu menharapkan kamu begitu, seperti ucapmu ketika mengelus rambut buah hatimu, seperti bundamu dulu sayangnya padamu, do'a bunda menjadi hari itu. Kau mengasuh anak bangsa tiap hari tak henti ilmumu, mengalir ke tiap benak bunga mungil di taman nusantara. di taman siswa Tut Wuri Handayani, seragam gurumu melekat.
Sahabatku,
Kita berbincang di rentang geriapnya kehidupan ditengah usia yang merayap pelan. Kau dan aku berangkulan di batasa usia kelahiran kembar di permukaan bumi bersama, kita menghirup udara berdua senafas!

Tidak ada komentar: